MUSLIM UIGHUR XINGJIANG |
https://www.celebespost.eu.org/. Uighur adalah komunitas yang berbahasa mirip Turki dan dulunya merdeka. Mereka tak bisa berbahasa Mandarin. Budaya mereka Islam, bukan komunis. Secara geografis, wilayah Xinjiang berada di luar Tembok Besar Cina yang berfungsi sebagai benteng pertahanan imperium Cina sebelumnya. Oleh pemerintah Cina, Uighur diperlakukan diskriminatif. Populasi mereka terus ditekan. Caranya, rezim komunis Cina mendatangkan suku Han ke wilayah tersebut. Xinjiang yang dulunya mayoritas Muslim Uighur, kini didominasi suku Han. Suku Han—keturunan Cina—ini mendapat perlakuan istimewa.
Banyak di
antara mereka hilang entah ke mana. Diduga telah terjadi genosida secara
sistematis. Bahkan ada
informasi yang perlu
dikonfirmasi lagi tentang adanya
pengambilan organ tubuh warga Uighur. dicaplok
Cina tahun 1949,
nasib mereka sama
persis dengan apa yang
dialami oleh warga
Palestina. Jika Palestina tanahnya dijajah Israel dengan
dalih itu adalah tanah lelulur mereka, hal yang sama terjadi pada bangsa Uighur.
Cina mengklaim wilayah Xinjiang adalah wilayah mereka. Padahal, fakta
menunjukkan ada perbedaan yang mencolok dalam budaya mereka.
KH
Muhyiddin Junaidi, menuturkan pemerintah Indonesia perlu bersuara lantang
terkait masalah Uighur di Xinjiang, Cina. Menurutnya pemerintah jangan
terlalu menggunakan 'constructive engagement diplomacy. "Tapi
sedikitlah naik ke atas (megaphone diplomacy), agar lantang. Tapi karena kita punya protocol of ASEAN, yang
memang jelas mengatakan tidak boleh intervensi. Makanya kita tidak menggunakan
megaphone diplomacy," kata dia di kantor MUI, Jakarta, Selasa (17/12). Sementara Uighur
dianggap sebagai bahaya
karena sempat beberapa kali mau
melepaskan diri dari Republik Rakyat Cina yang komunis. Bagi Cina, Xinjiang
adalah emas. Di sana tersimpan minyak dan gas
dalam jumlah besar.
Mungkin cadangan migas
dan mineral terbesar di Cina ada
di Xinjiang. Inilah mengapa Cina begitu kuatnya mencengkeram Xinjiang
dan menutup semua
pintu bagi kemerdekaan wilayah
yang dulunya bernama
Turkistan Timur tersebut.
Muhyiddin mengakui, sebetulnya Indonesia tidak boleh
mengintervensi kebijakan negara lain, tetapi, dia mengingatkan bahwa ada
pengecualian untuk masalah hak asasi manusia. Sebab dia menilai masalah
HAM itu tidak punya batasan. Apalagi masalahnya sudah sangat jelas dan
terekspos ke dunia internasional. Menurut dia, yang menjadi
sasarannya adalah umat Islam, dan sangat tepat kalau Indonesia sudah melakukan
sesuatu. Apalagi Indonesia menduduki posisi di Dewan Kehormatan PBB. “Dan
sangat terhormat posisinya di Organisasi Kerjasama Islam, saya pikir sudah
tepat sekali kalau sudah melakukan sesuatu," tutur dia. Muhyiddin
mengingatkan, meski Indonesia perlu bersuara lantang soal Uighur, tetapi jangan
sampai terjerumus ke dalam pusaran perang dagang antara Cina dan Amerika
Serikat.
Sebab, dia mengakui, AS sebetulnya ingin nasib Cina seperti
Myanmar yang dengan kasus Rohingya dibawa ke Mahkamah Internasional
(ICJ). "Kalau Uighur masuk ke ICJ, itu akan menjadi malapetaka bagi
Cina, dia pelanggar HAM, ya ini kan trade war, kadang negara
tertentu gebuk kita dengan menggunakan tangan orang lain, proxy war. Maka kita
jangan bermain dengan irama mereka," tuturnya. Saat ini, papar Muhyiddin,
Indonesia menggunakan cara diplomasi constructive engagement. Namun menurut dia
sudah seharusnya Indonesia menggabungkan megaphone diplomacy dan constructive
engagement diplomacy. "Akan sangat bagus. Kalau Turki kan
megaphone diplomacy, urusan lain belakangan, kalau kita kan mikir-mikir
dulu," tuturnya.
Cina menggunakan segala cara
untuk menundukkan warga Uighur.
Mereka melakukan de-ideologisasi kepada
mereka. Bagi Cina, Islam adalah
inspirasi bagi pembebasan Uighur. Karenanya, negara komunis itu mencoba merusak
akidah umat Islam di sana dengan memasukkan mereka ke kamp-kamp konsentrasi. Di
kamp itulah mereka didoktrin
ideologi komunis dan
dilepaskan dari budaya asli
mereka yang berbau Islam. Muhyiddin melanjutkan, pemerintah Indonesia juga harus mendengar
aspirasi umat Islam di Indonesia terkait Uighur.
Sebab dia mengatakan
kalangan umat Islam sudah bersuara soal Uighur. Karena itu dia meminta agar
pemerintah bijak dan mengakomodasi aspirsai bangsa dan umat Islam. "Karena
aspirasi itu penting dan bagian dari kehidupan berdemokrasi. Kalau pemerintah
merasa dirinya sebagai pengayom masyarakat sebagai pemimpin masyarakat maka
dengarlah suara masyarakat, jangan hanya dekat apabila ada maunya. Karena ini
terkait kepentingan umat manusia dan kemanusiaan atas dasar kemanusiaan,"
ujarnya.
Ini adalah tragedi kemanusiaan yang
luar biasa. Anehnya, para pemimpin negeri-negeri Muslim diam seribu bahasa.
Mereka tak bereaksi sedikit pun.
Seolah mulut mereka
terkunci dan mata mereka buta. Sementara, negara kafir
Barat malah justru berteriak atas pelanggaran HAM ini. Ada apa? Banyak kalangan
menilai, para penguasa Muslim—termasuk Indonesia—telah terjerat utang budi kepada
rezim komunis Cina khususnya dalam bidang ekonomi.Tekanan kaum Muslim di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia, dengan menggelar berbagai aksi unjuk rasa
ke kedutaan besar Cina tak
digubris.
Di Indonesia,
penguasa terkesan justru melindungi kedutaan
itu dengan menggelar
pasukan yang tak biasa. Melihat kenyataan ini, tampak
nasib mereka tak akan berubah dalam
waktu dekat. Tinggal
kaum Muslim mendoakan
dan menekan pemerintahnya masing-masing untuk menolong mereka. Ini adalah sebuah pelajaran berharga, betapa
kaum Muslim membutuhkan
kepemimpinan sejati yang
melindungi seluruh kaum Muslim di
dunia. Tanpa itu, kaum Muslim, termasuk di Uighur, akan menjadi santapan
negara-negara rakus. Saatnya,
umat Islam bangkit
bahu membahu mewujudkan kepemimpinan tersebut. Hanya dengan
itu kaum Muslim mulia di hadapan
penduduk langit dan
bumi. Tangis Uighur adalah
duka kita.
[Mds/mu/rep]