Didit Fachri Rifai
|
https://www.celebespost.eu.org/. Membahas berita media bisnis nasional beberapa pekan yang lalu soal keputusan Lippo Group yang melepas sebahagian saham kepemilikannya di dompet digital OVO sedikit menyita perhatian. Bagaimana tidak, industri financial technology (fintech) secara konsisten mengalami peningkatan pertumbuhan dari tahun ke tahun khususnya dalam layanan produk dompet digital yang seharusnya dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Namun alasan berbeda diungkapkan oleh pihak Lippo Group.
Mochtar Riady selaku pendiri group Lippo mengakui bahwa grup yang dibangunnya ini telah mengurangi kepemilikannya di dompet digital OVO. Dalam kutipannya bulan lalu "Bukan melepas, tetapi kita menjual sebagian. Sekarang kita tinggal sekitar 30-an persen atau satu pertiga. jadi dua pertiga kita jual," dalam acara Indonesia Digital Conference (IDC), Kamis (28/11/2019).Sampai saat ini, Lippo hanya memiliki sebesar 30% saham namun tetap menjadi pemegang saham utamanya.
Selanjutnya dijelaskan,
bahwa tak kuat lagi bakar uang untuk membesarkan perusahaan menjadi
pertimbangan untuk membagi beban tersebut dengan investor lain. Asal tahu saja,
'bakar' uang ini dilakukan OVO dalam bentuk memberikan diskon di mitra yang
bekerjasama dengannya. "Alasannya,
terus bakar uang bagaimana kami kuat," lanjut dia. (cnbcindonesia.com)
PERTANYAANYA! “APAKAH OVO MEMANG DITUNTUT HARUS BAKAR
UANG DALAM BENTUK PEMBERIAN DISKON ATAU HANYA KARENA TERPAKSA BAKAR UANG”. Mengingat pesaing mereka seperti
GOPAY, DANA, LINK AJA, Dan lain lain, Cukup agresif dan kompetitif.
Kalau kita melihat kebelakang OVO boleh dikatakan
pioneer dalam menerapkan strategi merchant (kerja sama dengan toko) salah satu
wujudnya pemberian diskon dan itu dilakukan sangat masif hampir diseluruh ibukota
besar di Indonesia sehingga tidak dipungkiri lagi kalau itu memerlukan biaya
yang sangat besar, dengan alih dapat menciptakan pelanggan bagi pengguna
layananya. Di lain hal, pada kenyataanya OVO justru secara langsung mempolopori
trust kepada masyarakat sekaligus mengadvokasi budaya dalam melakukan transaksi
pembayaran secara elektronik yang biayanya OVO tanggung sendiri tetapi
manfaatnya dirasakan bersama dan menguntungkan pesaingnya.
OVO sangat gencar di awal lalu harus tertahan di
tengah jalan karena kehabisan bahan bakar sementara pesaingnya yang awalnya
hanya sebagai follower kemudian bisa memanfaatkan timing waktu yang pas.
Sebagai contoh kalau dibandingkan dengan pesaingnya yaitu GOPAY yang saat ini memiliki
layanan produk beragam seperti GO RESTO & LIFESTYLE juga tentunya produk
inti (core product) GOJEK sehingga sangat memungkinkan menciptakan basis
pelanggan yang lebih banyak dan tidak memerlukan biaya yang cukup besar dalam
kegiatan “bakar uang” seperti yang dilakukan OVO.
Sejatinya sudah saatnya bagi OVO membutuhkan dana
segar dalam mempertahankan eksistensinya kedepan, begitupun dengan langkah –
langkah strategis yang mereka tempuh dengan cara melepas sebahagian sahamnya. Akan
lebih bagus ketika banyak pihak shareholder yang terlibat demi kelangsungan
bisnisnya. Tantangan bagi OVO kedepan adalah apakah mereka mampu
menciptkan perubahan khusunya dalam menciptakan produk intinya sendiri yang kemudian
dapat membangun basis pelanggan sehingga tidak lagi memerlukan kegiatan “bakar
uang” yang akan menyerap anggaran besar.
Penulis : DFR