-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Mengungkap Fakta Hukum : Penangkapan Brutal Ferry Setiawan dan Pelanggaran HAM yang Terjadi!

Friday, August 16, 2024 | August 16, 2024 WIB Last Updated 2024-08-15T21:54:49Z

Fery Setiawan

Makassar, Sulawesi Selatan, 16 Agustus 2024 – Kasus Ferry Setiawan telah menjadi simbol dari keruntuhan sistem penegakan hukum di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Penangkapan Ferry oleh Subdit 1 Ditresnarkoba Polda Sulawesi Selatan pada 19 Desember 2023 di Kabupaten Sidrap, bukan hanya mengguncang publik dengan kontroversi besar, tetapi juga membuka tabir pelanggaran hak asasi manusia yang memilukan.


Ketika berita ini mencuat, masyarakat terhenyak mengetahui bahwa penangkapan Ferry dilakukan tanpa surat perintah yang sah. Lebih mengerikan lagi, penahanan Ferry diwarnai dengan penyiksaan brutal. Pada 29 Maret 2024, ibunda Ferry Setiawan, dengan air mata yang tak terbendung, mengungkapkan penderitaan putranya. Dalam wawancara eksklusif, ia menceritakan bagaimana Ferry dipaksa mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya melalui ancaman dan penyiksaan fisik yang tak manusiawi. Salah satu penyiksaan paling keji adalah penyiraman air cabai yang dihaluskan ke area sensitif tubuh Ferry. “Kami merasa tidak berdaya. Anak saya harus menerima kenyataan pahit atas sesuatu yang tidak diperbuatnya,” ungkap sang ibu dengan suara yang penuh kepedihan.


Informasi Perkara

Kuasa hukum Ferry Setiawan, Farid Mamma, SH., MH, tidak tinggal diam. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa proses hukum yang dijalani kliennya penuh dengan cacat prosedural. Farid mengungkapkan bahwa tidak ada barang bukti yang cukup untuk menjerat Ferry, dan proses hukum yang berlangsung sangat jauh dari rasa keadilan. “Kami memohon kepada Propam Polda Sulsel, Kapolda Sulawesi Selatan, serta Kajati Sulsel dan Kajari Sidenreng Rappang untuk mempertimbangkan hal ini,” ucapnya dengan suara bergetar penuh harapan.


Farid Mamma, SH., MH,


Namun, kekejaman terhadap Ferry Setiawan tidak berhenti di situ. Pada 18 April 2024, Ferry mengungkapkan detik-detik mengerikan di balik jeruji penahanan. Ia menceritakan bagaimana ia dipaksa mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya dengan ancaman kekerasan fisik, termasuk pengolesan bahan pedas ke tubuhnya di ruangan pemeriksaan yang penuh intimidasi. Dalam kondisi yang mengerikan itu, Ferry juga menyaksikan manipulasi barang bukti oleh petugas. Kejadian ini semakin menambah keputusasaan Ferry dalam mencari keadilan yang terasa seperti ilusi belaka.


Kasus ini mencapai titik krusial dengan diajukannya surat permintaan perlindungan hukum dan keberatan hukum oleh kuasa hukum Ferry Setiawan. Surat tersebut menyoroti berbagai pelanggaran serius, mulai dari penangkapan tanpa surat perintah hingga kekerasan brutal yang dialami klien mereka. Tim kuasa hukum Ferry, yang terdiri dari Farid Mamma, SH., MH., Alfiansyah Farid, SH., dan Ashar Hasanuddin, SH., menegaskan bahwa proses hukum terhadap klien mereka cacat dan jauh dari standar keadilan yang seharusnya dijalankan.


Dalam suratnya, kuasa hukum Ferry menekankan ketidakpatuhan aparat penegak hukum terhadap Pasal 54 dan Pasal 56 KUHAP yang menjamin hak tersangka untuk didampingi oleh penasihat hukum. Mereka meminta pihak berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang transparan dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Masyarakat kini menantikan tanggapan dari pihak berwenang terhadap surat tersebut.


Puncak dari pencarian keadilan ini terjadi pada sidang pemeriksaan saksi verbalisan yang berlangsung pada Kamis, 8 Agustus 2024, berstatus tuntutan belum siap dan pada Kamis, 15 Agustus 2024, dengan agenda sidang pembacaan tuntutan. Sidang ini menjadi momen penting dalam kasus Ferry Setiawan. Dalam persidangan tersebut, penyidik Polda dan jaksa tidak berhasil membuktikan adanya alat bukti yang kuat untuk menjerat Ferry Setiawan. Ketika dihadapkan dengan fakta di persidangan dan saat saksi-saksi dari pihak penyidik diperiksa, semua tuduhan terhadap Ferry runtuh satu per satu.


Hakim Ketua Otniel Yuristo Yudha Prawira, S.H., M.H., bersama hakim anggota Masdiana, S.H., M.H., dan Yasir Adi Pratama, S.H., menegaskan bahwa ke depannya, penyidik narkoba Polda Sulawesi Selatan harus bertindak lebih proporsional dan tidak sembarangan dalam melakukan penangkapan. Pernyataan ini menjadi tamparan keras bagi aparat penegak hukum yang telah mempermainkan keadilan.


Kasus Ferry Setiawan bukan hanya menjadi peringatan keras bagi aparat penegak hukum di Sulawesi Selatan, tetapi juga mencerminkan betapa rentannya sistem peradilan di Indonesia terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Kejadian ini mengingatkan kita semua akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap proses hukum. Keadilan yang dituntut oleh Ferry dan keluarganya bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk setiap warga negara yang mendambakan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat di Indonesia.


Kini, masyarakat luas menantikan langkah konkret dari pihak berwenang dalam menangani kasus ini. Akankah kasus Ferry Setiawan menjadi titik balik bagi reformasi penegakan hukum di Indonesia, atau akan tenggelam dalam arus kasus-kasus serupa yang berakhir tanpa keadilan? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti, suara Ferry Setiawan dan keluarganya tidak akan pernah padam dalam perjuangan panjang mencari keadilan yang sesungguhnya.


@mds

×
Berita Terbaru Update