Farid Mamma, SH., M.H. |
Makassar, 5 Oktober 2024 — Konsumen, yang seharusnya menjadi kontributor bagi pembangunan negara melalui pajak yang dibayarkan, mulai merasa curiga. Di balik kilauan minimarket yang terus menjamur di kota-kota besar, tersimpan ancaman besar yang menggerogoti perekonomian negara. Pengusaha nakal diduga sengaja menyembunyikan sebagian pajak yang dipungut dari konsumen. Minimarket seperti Alfamart, Indomaret, Circle K, dan Smart kerap menjadi sorotan, bukan hanya karena harga produk yang melambung, tetapi juga karena ketidaktransparanan dalam pengelolaan pajak. Setiap transaksi yang mereka lakukan, terutama untuk produk-produk berisiko tinggi seperti rokok dan minuman dalam kemasan, selalu disertai dengan potongan pajak. Namun, pertanyaan besar mengemuka: Apakah pajak yang mereka bayarkan benar-benar sampai ke kas negara?
Minimarket sebagai Titik Pungutan Pajak: Siapa yang Diuntungkan?
Setiap produk yang dibeli di minimarket, terutama rokok dan minuman kaleng atau botol, telah dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan dalam beberapa kasus dikenakan cukai. Tarif pajak ini sudah jelas dan diatur dalam undang-undang. Namun, para pengusaha nakal diduga menggunakan celah hukum untuk menyembunyikan atau memanipulasi besaran pajak yang dilaporkan.
Ayu, seorang pelanggan tetap di Indomaret, mengaku heran dengan potongan pajak yang selalu muncul di nota pembeliannya. "Setiap kali saya beli rokok atau minuman kaleng, selalu ada pajak di nota. Tapi saya jadi bertanya-tanya, apakah pajak itu benar-benar masuk ke kas negara atau ada pengusaha yang main-main dengan uang pajak kita?" ujarnya dengan nada kecewa.
Farid Mamma, SH., MH, Direktur Pusat Kajian Advokasi Anti Korupsi (PUKAT) Sulawesi Selatan, menegaskan bahwa celah penggelapan pajak sering kali terjadi di sektor retail dan minimarket. "Pengusaha yang bermain curang biasanya memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan pajak, terutama pada transaksi harian di minimarket. Jika tidak ada pengawasan ketat, besar kemungkinan sebagian pajak tidak disetorkan," ujarnya.
Modus Pengusaha dalam Menyembunyikan Pajak
Ada beberapa modus operandi yang kerap digunakan pengusaha nakal untuk menghindari kewajiban pajak. Salah satunya adalah dengan mengurangi nilai pajak yang dilaporkan melalui manipulasi sistem pencatatan transaksi. Dalam beberapa kasus, produk yang dikenai pajak tinggi, seperti rokok dan minuman alkohol, bisa saja dilaporkan sebagai produk non-pajak atau dipisahkan dari laporan penjualan resmi.
Farid Mamma menambahkan bahwa minimarket besar sering kali melakukan praktik manipulatif ini dengan skala yang sulit dideteksi. "Mereka mungkin melaporkan sebagian kecil transaksi dengan benar, tetapi sisanya disembunyikan. Jika praktik ini terus dibiarkan, kerugian negara bisa mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya," katanya.
Sebagai contoh, kasus di Jakarta Utara pada tahun 2015 mengungkap kerugian negara sebesar Rp292 miliar akibat laporan pajak yang dimanipulasi oleh pengusaha yang seharusnya membayar PPN secara penuh. Praktik semacam ini memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan terhadap pengusaha retail.
Konsumen sebagai Garis Pertama Pertahanan: Meminta Bukti Pajak
Di tengah ketidakjelasan ini, konsumen mulai menyadari bahwa mereka memiliki peran penting dalam memastikan pengusaha tidak bermain curang. Salah satu hak konsumen yang sering diabaikan adalah permintaan bukti transaksi pajak yang jelas dan sah, seperti kwitansi atau faktur pajak. Namun, tidak banyak yang menyadari pentingnya langkah ini.
Farid, seorang pelanggan aktif, mengaku selalu meminta bukti pajak setiap kali berbelanja di minimarket. "Sebagai konsumen, saya punya hak untuk tahu ke mana pajak yang saya bayar pergi. Saya tidak ingin uang saya disalahgunakan oleh pengusaha yang ingin memperkaya diri sendiri. Dengan meminta kwitansi, kita juga ikut membantu negara dalam mengawasi," tegasnya.
Peran Pemerintah dan Penegakan Hukum dalam Melawan Pengusaha Nakal
Pemerintah sebenarnya memiliki mekanisme untuk memastikan pengusaha retail mematuhi kewajiban pajak. Namun, kelemahan dalam pengawasan membuat celah bagi pengusaha untuk memanfaatkan situasi ini. Farid Mamma menyerukan adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum. "Jika pemerintah dan aparat penegak hukum tidak mengambil langkah serius, pengusaha nakal akan terus lolos dari tanggung jawab mereka. Audit menyeluruh dan pemeriksaan rutin harus dilakukan, terutama di sektor retail yang cenderung rentan terhadap penggelapan pajak," ungkapnya.
Langkah penegakan hukum yang tegas pernah diterapkan di Jakarta Timur, di mana tiga perusahaan retail dijerat kasus penggelapan pajak dengan kerugian negara mencapai Rp16,7 miliar. Perusahaan-perusahaan tersebut terbukti memanipulasi laporan pajak dan memalsukan dokumen terkait. Kasus serupa juga terjadi di Jawa Tengah dengan kerugian negara sebesar Rp10 miliar akibat pengusaha yang tidak melaporkan transaksi pajak secara penuh.
Masyarakat Harus Peduli: Pajak untuk Masa Depan
Kesadaran pajak di kalangan konsumen juga perlu ditingkatkan. Masyarakat harus lebih aktif dalam menuntut transparansi dari pengusaha, karena setiap rupiah dari pajak yang dibayarkan seharusnya menjadi kontribusi langsung untuk pembangunan negara. Dengan mendukung transparansi dan melawan praktik curang, konsumen dapat membantu menjaga integritas sistem perpajakan Indonesia.
Akhirnya, pengusaha yang terus menghindari pajak tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Jika penggelapan pajak tidak segera diatasi, dampaknya akan jauh lebih luas, menghambat pertumbuhan ekonomi dan merusak fondasi keuangan negara.
@mds