Makassar (3 Oktober 2024) – Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar kembali menjadi sorotan, kali ini terkait skorsing 31 mahasiswa dari berbagai fakultas. Skorsing ini merupakan buntut dari aksi protes mahasiswa yang menolak Surat Edaran Rektor UIN Alauddin Makassar No. 2591 tahun 2024, yang dianggap membatasi kebebasan berekspresi dan menyampaikan aspirasi. Aksi protes tersebut dilakukan sebagai respons atas dugaan korupsi yang terjadi di kampus, khususnya terkait proyek Rumah Sakit Pendidikan (RSP) UIN dan gedung pascasarjana yang saat ini sedang diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, mengonfirmasi bahwa dua kasus dugaan korupsi ini sedang dalam penyelidikan. “Iya, masih sementara berjalan,” ujar Johanis ketika ditanya oleh wartawan terkait kasus tersebut pada Rabu (17/7/2024). Proyek RSP UIN Alauddin yang menelan anggaran sebesar Rp147 miliar hingga kini belum difungsikan, meski pembangunannya telah rampung pada 2023 setelah sempat mangkrak selama 5 tahun.
Demonstrasi di balas sangsi Edaran |
Namun, di tengah investigasi ini, muncul polemik baru. Surat Edaran Rektor yang dirilis pada 25 Juli 2024 mengatur ketat penyampaian aspirasi mahasiswa di kampus. SE tersebut mengharuskan adanya izin tertulis dari pimpinan universitas untuk setiap aksi protes, serta melarang penggunaan simbol-simbol non-intra kampus. Mahasiswa yang melanggar ketentuan ini diancam dengan skorsing hingga pemecatan.
Kebebasan Akademik Terancam
Surat Edaran ini menuai protes keras dari mahasiswa yang menilai kebijakan tersebut sebagai pembatasan kebebasan berekspresi yang diatur dalam Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 serta UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Tidak hanya itu, kebijakan ini dianggap mencederai demokrasi kampus.
"Sanksi skorsing yang dijatuhkan pada kami ini sangat tidak adil. Kami hanya memperjuangkan kebebasan akademik dan prinsip-prinsip demokrasi di kampus," ujar Muh Reski, Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Alauddin, yang turut menjadi korban skorsing. Muh Reski, yang juga mahasiswa jurusan Ilmu Hadis, bahkan harus kehilangan beasiswanya akibat skorsing ini, yang membuatnya terancam gagal menyelesaikan studinya tepat waktu.
Kaitannya dengan Kasus Dugaan Korupsi
Aksi protes mahasiswa ini juga tidak terlepas dari kekecewaan atas lambatnya pengusutan dugaan korupsi di kampus, khususnya proyek RSP dan gedung pascasarjana. Para mahasiswa menuntut transparansi dan keadilan, terutama karena kasus ini melibatkan potensi kerugian negara yang besar. Koalisi antikorupsi sebelumnya telah meminta KPK untuk melakukan supervisi terhadap Polda Sulsel yang selama ini menangani kasus tersebut tanpa ada perkembangan berarti.
Dosen dan mahasiswa |
Aktivis antikorupsi, Mulyadi, menyebut bahwa supervisi dari KPK sangat penting untuk mempercepat penyelesaian kasus ini. "Kalau tidak ada kemajuan, KPK harus turun tangan. Banyak kasus mandek yang akhirnya selesai setelah ada supervisi," ujarnya.
Penegasan Hak Berpendapat
Mahasiswa menilai bahwa tindakan skorsing ini merupakan upaya untuk membungkam suara kritis mereka. "Kami hanya ingin menyuarakan apa yang benar. Kebijakan ini justru merenggut hak-hak kami sebagai mahasiswa, padahal kampus seharusnya menjadi tempat yang bebas untuk berdiskusi dan berekspresi," tambah Muh Reski.
Sementara itu, pakar hukum tata negara juga ikut mengecam kebijakan ini, menyebutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan akademik yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap perguruan tinggi.
Seorang dosen UIN Alauddin Makassar yang enggan disebutkan namanya menyatakan keprihatinannya atas tindakan skorsing massal tersebut. "Ini jelas upaya untuk membungkam aspirasi mahasiswa. Kebebasan akademik dan hak menyuarakan pendapat harus dilindungi di lingkungan kampus, bukan malah ditekan," ujarnya.
@mds_dibawahpohon