Korban Kekerasan |
Makassar, 9 November 2024 — Bayangan kegelapan menyelimuti perjalanan Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM) Universitas Negeri Makassar (UNM) yang seharusnya menjadi sarana pembentukan karakter positif bagi para mahasiswa baru. Alih-alih meraih ilmu dan pengalaman, Sukariono Adi Wibowo Muchtar, akrab disapa Imran, harus menanggung derita akibat penganiayaan brutal yang dilakukan seniornya, meninggalkan luka yang tak hanya fisik, tetapi juga mental.
Detik-detik Mencekam: Kekerasan Tanpa Ampun di Pos 4
Malam itu, Minggu dini hari, 20 Oktober 2024, sekitar pukul 03.00 WIB, suasana yang semula hanya diwarnai kegelapan dan kelelahan mendadak berubah mencekam. Imran dan teman-teman sekelompoknya yang berjumlah 32 orang berjalan dengan patuh melewati pos demi pos. Namun, ketika tiba di pos 4, tanpa alasan jelas, bencana itu tiba-tiba menghampiri.
"Ketika saya disuruh tunduk bersama seluruh teman kelompok, tiba-tiba ada pukulan keras menghantam punggung saya. Belum sempat saya mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba pukulan lain mendarat tepat di mata kiri saya, membuat pandangan saya gelap seketika. Rasa sakitnya luar biasa, kepala saya berdenyut, dan saya hanya bisa terjatuh," ujar Imran dengan suara yang bergetar, mengenang detik-detik brutal yang mengubah malam itu menjadi mimpi buruk.
Kartu Kendali Pelayanan |
Di saat tubuhnya lunglai dan kesakitan, teman-temannya berusaha melindunginya dari serangan yang terus mengancam. Beberapa panitia langsung bertindak, mengevakuasi Imran ke vila untuk diberikan perawatan sementara, namun luka di bagian matanya begitu parah hingga akhirnya ia harus dilarikan ke Puskesmas terdekat. Sayangnya, kondisi Imran membutuhkan penanganan lebih serius hingga ia dirujuk ke Rumah Sakit Unhas dan menjalani perawatan intensif selama tiga hari.
Laporan Berjalan Lambat: Keadilan Seolah Menghilang
Keluarga Imran, yang tak dapat menerima tindakan sadis ini, segera melaporkan kasus tersebut ke Polda Sulawesi Selatan pada 22 Oktober 2024, dengan harapan agar pelaku segera diproses hukum. Namun, hingga kini, perjalanan mencari keadilan terasa semakin berliku. Meski laporan sudah berjalan empat minggu, penanganan kasus di Polda Sulsel masih stagnan, seperti tak ada cahaya di ujung terowongan.
"Sudah hampir satu bulan sejak laporan masuk, tapi hasilnya nihil. Saya merasa seperti berjuang sendirian mencari keadilan. Rasanya sia-sia," ujar Imran, penuh kecewa. Rasa frustrasi yang menggelegak tampak dari wajahnya, seolah-olah keadilan telah lenyap dari genggamannya.
Kampus Bungkam: Sidang Disiplin Tak Berujung Kepastian
Pihak kampus seolah tak acuh. Meskipun jurusan tempat Imran menimba ilmu telah menggelar sidang komisi disiplin untuk memproses pelaku, hingga kini belum ada sanksi yang jelas. Imran mengungkapkan bahwa terduga pelaku, Sulfikar, bahkan telah mengakui perbuatannya di hadapan Pembina himpunan mahasiswa sipil, yang juga dosen tetap UNM. Namun, hasil sidang komdis terkesan menguap begitu saja.
“Pembina sendiri sudah bilang kalau pelakunya memang Sulfikar, tapi sidang komdis seolah-olah hanya formalitas belaka. Mereka bilang Senin ada hasil, lalu mundur ke Rabu, dan sampai sekarang tetap tidak ada keputusan,” tutur Imran, mengisahkan penantian panjang yang penuh ketidakpastian.
Harapan di Tengah Gelap: Seruan untuk Keadilan yang Tertunda
Imran dan keluarganya kini hanya bisa berharap, baik pihak kepolisian maupun kampus berani mengambil sikap tegas. Mereka ingin kasus ini diselesaikan dengan transparansi dan pelaku mendapat ganjaran setimpal. Luka yang dialami Imran bukan sekadar memar di mata, melainkan memar di hati, trauma yang menghantui dirinya sebagai mahasiswa yang seharusnya mendapat perlindungan.
Kasus ini tidak hanya meninggalkan pertanyaan besar tentang penegakan hukum di lingkungan kampus, tetapi juga menyerukan perubahan agar kekerasan di dunia pendidikan tak lagi menjadi bayangan gelap yang menelan masa depan para mahasiswa.
@mds