Farid Mamma, SH., M.H., |
Makassar, 13 Desember 2024 – Kasus Sanawati Binti Dg. Matike (51), seorang nasabah PNPM Mandiri dari Kabupaten Luwu, resmi berstatus inkrah setelah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar pada 12 Desember 2024. Putusan tersebut menjatuhkan hukuman penjara 1 tahun 5 bulan, denda Rp50 juta, dan kewajiban membayar uang pengganti Rp54,404 juta. Namun, putusan itu dinilai sangat tidak adil dan mencerminkan ketidakmampuan sistem hukum dalam membedakan peran pengelola dan penerima manfaat.
Nasabah Dijadikan Tumbal, Pengelola Hanya Dihukum Ringan
Farid Mamma, S.H., M.H., pengamat hukum yang intens mengikuti kasus ini, menilai bahwa Sanawati tidak semestinya dihukum karena ia hanyalah penerima dana sesuai prosedur.
Farid Mamma, SH., M.H |
“Sanawati adalah nasabah, bukan pengelola dana PNPM. Perannya sebagai penerima manfaat tidak bisa disamakan dengan pengelola Unit Pengelola Kegiatan (UPK) yang memiliki kewenangan penuh atas verifikasi data dan penyaluran dana,” tegas Farid, Jumat (13/12/2024).
Farid mengkritik keras putusan yang menetapkan Sanawati sebagai terdakwa utama dalam kasus ini, sementara Ketua UPK yang seharusnya bertanggung jawab atas dugaan kelompok fiktif hanya dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.
“Pengelola dana yang seharusnya bertanggung jawab hanya dijatuhi hukuman ringan. Ke mana akal sehat aparat penegak hukum? Putusan ini sangat tidak mencerminkan rasa keadilan,” ujarnya dengan nada geram.
Pasal “Keranjang Sampah” yang Tidak Tepat Sasaran
Sanawati dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut sering disebut sebagai “pasal keranjang sampah” karena kerap digunakan untuk kasus yang tidak memiliki bukti kuat terkait niat jahat atau peran signifikan terdakwa.
“Penerapan Pasal 3 terhadap Sanawati sangat dipaksakan. Tidak ada bukti ia memiliki niat memperkaya diri atau bersekongkol dengan pengelola. Sebaliknya, ia adalah korban dari pengelolaan dana yang buruk,” kata Farid.
Farid menilai kasus ini lebih tepat dikategorikan sebagai sengketa perdata, mengingat hubungan Sanawati dengan UPK adalah hubungan antara debitur dan pemberi pinjaman. Namun, sistem hukum justru menjadikan Sanawati sebagai “kambing hitam.”
Keputusan yang Menyakiti Rakyat Kecil
Farid juga mengkritik proses hukum yang terkesan asal-asalan dalam menetapkan Sanawati sebagai terdakwa. Ia menyoroti bagaimana ketidakberdayaan seorang ibu rumah tangga dijadikan tumbal dalam kasus ini.
“Jika ada kelompok penerima fiktif, itu adalah tanggung jawab pengelola, bukan nasabah. Fakta bahwa Sanawati hanya menerima pinjaman sesuai prosedur harusnya menjadi pembelaan utama. Putusan ini benar-benar menyakiti rakyat kecil,” ujarnya.
Refleksi: Sistem Hukum yang Harus Dibangun Kembali
Kasus ini menjadi potret buruk penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam kasus yang melibatkan dana publik. Farid menegaskan perlunya reformasi sistem hukum agar tidak lagi terjadi ketidakadilan seperti yang dialami Sanawati.
“Program seperti PNPM dirancang untuk memberdayakan masyarakat, bukan menjebak mereka dalam kesalahan sistem. Pemerintah harus memastikan pengelolaan yang transparan dan akuntabel agar tujuan program benar-benar tercapai,” tutupnya.
Dengan putusan yang telah inkrah, Sanawati kini harus menjalani hukuman yang banyak pihak nilai tidak seharusnya dijatuhkan kepadanya. Kasus ini meninggalkan luka mendalam bagi rakyat kecil, sekaligus menjadi pengingat bahwa keadilan di negeri ini masih jauh dari harapan.
@mds