Jakarta, 2 Januari 2025 — Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN 2025-2029 menjadi panggung kritik pedas saat Presiden RI Prabowo Subianto menyindir vonis ringan yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi timah, Harvey Moeis (30/12/2024). Vonis yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan itu memicu perdebatan publik, terutama soal penegakan hukum terhadap koruptor kakap.
Harvey Moeis, yang diduga merugikan negara hingga Rp300 triliun, hanya dijatuhi hukuman beberapa tahun penjara. Hal ini memancing komentar tajam dari Prabowo. "Bagaimana mungkin seseorang yang merugikan negara ratusan triliun hanya dihukum beberapa tahun saja? Ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Saya meminta Jaksa Agung untuk mengajukan banding, bahkan jika perlu menuntut 50 tahun penjara!" tegas Prabowo, yang disambut riuh tepuk tangan peserta Musrenbangnas.
Kejaksaan Agung Pastikan Naik Banding
Jaksa Agung ST Burhanuddin menanggapi desakan Presiden dengan menyatakan kesiapan Kejaksaan Agung untuk naik banding. "Kami tidak akan tinggal diam. Banding akan diajukan demi memastikan rasa keadilan tercapai. Negara tidak boleh kalah dengan koruptor," ujarnya.
Namun, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar menambahkan bahwa tuntutan tetap harus disesuaikan dengan regulasi. "Kejaksaan Agung RI hanya bisa membuat tuntutan sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kami sedang mempersiapkan langkah hukum yang memungkinkan pemberatan hukuman," jelasnya.
Komentar Keras Farid Mamma: Korupsi Ratusan Triliun Tak Bisa Ditoleransi
Farid Mamma, S.H., M.H., Direktur Pusat Kajian Advokasi Anti Korupsi (PUKAT), mengecam keras vonis ringan terhadap Harvey Moeis. Menurutnya, vonis tersebut mencederai rasa keadilan publik dan memberi ruang bagi korupsi besar-besaran.
"Korupsi yang merugikan negara hingga Rp300 triliun adalah kejahatan luar biasa. Dalam kasus ini, penerapan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Tipikor seharusnya dilakukan, di mana pelaku bisa dihukum seumur hidup atau hukuman mati. Jika vonis hanya beberapa tahun, ini menunjukkan ketidakseriusan aparat hukum dalam memberantas korupsi," tegas Farid dengan nada geram.
Ia juga meminta Kejaksaan Agung dan pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam memberantas korupsi besar seperti ini. "Jika hukuman berat tidak diterapkan, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum. Jangan sampai ada anggapan bahwa uang bisa membeli keadilan," imbuhnya.
Pasal Terberat dalam UU Tipikor
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pelaku dapat dijatuhi pidana mati. Keadaan tertentu ini mencakup kerugian negara yang sangat besar, pengulangan tindak pidana, atau saat negara sedang dalam kondisi krisis.
"Harvey Moeis memenuhi kriteria ini. Kerugian Rp300 triliun jelas mengakibatkan dampak besar bagi perekonomian nasional. Jaksa harus menerapkan pasal ini jika ingin ada efek jera," ujar Farid.
Harapan Publik untuk Keadilan
Vonis ringan terhadap Harvey Moeis memunculkan gelombang protes dari masyarakat dan aktivis antikorupsi. Mereka berharap desakan Presiden Prabowo dapat mendorong reformasi penegakan hukum, terutama untuk pelaku korupsi kakap.
"Keadilan bukan hanya soal vonis, tetapi juga pesan moral bahwa negara tidak akan pernah tunduk pada koruptor," ujar Laksmi Putri, seorang aktivis antikorupsi.
Kini, perhatian publik tertuju pada langkah Kejaksaan Agung dalam proses banding. Apakah Harvey Moeis akan menghadapi hukuman yang lebih berat, bahkan hingga 50 tahun atau hukuman mati? Waktu yang akan menjawab.
@tim