![]() |
Gambar Pupuk di Lokasi Bone |
CELEBES POST, Bone, – Sejumlah petani di Desa Tadangpalie, Kecamatan Sibulue, Kabupaten Bone, mengeluhkan harga pupuk yang dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Pupuk jenis Phonska dijual seharga Rp135.000 per sak, sementara pupuk Urea mencapai Rp130.000 per sak. Padahal, harga normal kedua pupuk tersebut berkisar Rp125.000 per sak, termasuk biaya transportasi.
Salah seorang petani yang meminta identitasnya dirahasiakan mengungkapkan bahwa harga tinggi ini sangat membebani mereka. “Kami sudah kesulitan dengan biaya pertanian yang terus naik, sekarang pupuk pun dijual lebih mahal dari harga seharusnya,” ujarnya.
Petani juga mengaku heran dengan alasan yang diberikan oleh pihak yang menjual pupuk. Mereka berdalih bahwa kondisi jalan yang buruk menyebabkan biaya transportasi meningkat. Namun, menurut petani, pupuk tersebut tetap diantarkan langsung menggunakan truk, sehingga alasan tersebut dinilai tidak masuk akal.
Baik petani yang mengambil pupuk sendiri di kelompok tani maupun yang menerima pengantaran, tetap dikenakan harga yang sama, yaitu Rp135.000 untuk Phonska dan Rp130.000 untuk Urea. Kondisi ini semakin memperburuk keadaan petani yang berharap bisa mendapatkan pupuk dengan harga sesuai ketetapan pemerintah.
Pengamat pertanian sekaligus penemu dan konseptor Aminovol, Prof. Ir. H. Muhammad Alwi, menanggapi kondisi ini dengan menyoroti aspek teknis dan non-teknis terkait harga pupuk. Menurutnya, permainan tengkulak turut berperan dalam lonjakan harga yang tidak wajar ini. "Fenomena seperti ini sudah sering terjadi. Tengkulak memanfaatkan celah distribusi untuk meraup keuntungan lebih, sementara petani menjadi korban," ungkapnya.
Lebih lanjut, Prof. Alwi menjelaskan bahwa kenaikan harga pupuk tanpa dasar yang jelas dapat berdampak buruk pada produktivitas pertanian. “Jika harga pupuk terus naik di luar kendali pemerintah, para petani akan kesulitan menjaga hasil panen yang optimal. Hal ini bisa berujung pada penurunan produksi pertanian dan lonjakan harga pangan,” tambahnya.
Dari aspek hukum, Farid Mamma, SH., M.H., mengecam praktik penjualan pupuk di atas HET yang diduga melibatkan permainan oknum tertentu. “Jika ada unsur permainan harga atau penimbunan oleh distributor maupun tengkulak, maka ini bisa masuk dalam tindak pidana. Ada aturan tegas yang mengatur distribusi dan harga pupuk, salah satunya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi,” tegasnya.
Farid juga menambahkan bahwa jika ada mafia pupuk yang terbukti sengaja menaikkan harga untuk keuntungan pribadi, maka bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Pemerintah harus segera bertindak dan menindak tegas pihak yang mempermainkan harga pupuk. Jika tidak, ini akan merugikan petani secara sistematis dan memperburuk kondisi pertanian nasional,” imbuhnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi resmi dari pihak terkait mengenai penyebab pasti lonjakan harga ini. Para petani berharap pemerintah dan dinas terkait segera turun tangan untuk menertibkan harga pupuk agar sesuai dengan HET yang telah ditetapkan.
@mds_adl_tim