![]() |
Andre Vincent Wenas, MM, MBA, Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta) |
Celebes Post Jakarta, – Dalam lanskap politik Indonesia, perbedaan mendasar antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto semakin tampak jelas melalui konsep "triple-minority" dan "triple-majority" yang dikemukakan oleh pengamat politik Adi Prayitno.
Apa yang Dimaksud dengan Triple-Minority dan Triple-Majority?
Konsep ini merujuk pada posisi politik Jokowi yang sejak awal kepemimpinannya mengalami keterbatasan dalam tiga aspek utama. Pertama, Jokowi bukan ketua umum partai politik (parpol) dan hanya berperan sebagai "petugas partai" di bawah naungan PDI-P. Berbeda dengan Prabowo, yang memiliki kendali penuh sebagai Ketua Umum Partai Gerindra.
Kedua, jaringan politik Jokowi ketika pertama kali menjabat sebagai presiden masih terbatas, tidak seperti Prabowo yang telah lama berkecimpung dalam dunia politik nasional dan internasional. Ketiga, dukungan parlemen terhadap Jokowi pada awal pemerintahannya juga lemah, sementara Prabowo didukung oleh Koalisi Indonesia Maju yang solid.
Dengan kombinasi ketiga faktor ini, Jokowi disebut berada dalam posisi "triple-minority," sedangkan Prabowo kini menikmati "triple-majority" dengan kendali lebih besar dalam pemerintahan, parlemen, serta jejaring politik nasional dan global.
Bagaimana Dinamika Koalisi Besar Mempengaruhi Stabilitas Politik?
Dinamika politik saat ini menunjukkan adanya satu arsitek besar di balik solidnya koalisi yang mendukung Prabowo-Gibran. Koalisi besar ini tidak hanya menjadi strategi politik, tetapi juga dianggap sebagai prasyarat utama dalam menjaga stabilitas pemerintahan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Jokowi berhasil menunjukkan bahwa stabilitas politik yang lebih kuat terjadi pada periode kedua kepemimpinannya, di mana dukungan parlemen semakin solid. Model ini diteruskan oleh Prabowo-Gibran dengan wacana kesinambungan politik hingga 2045, di mana Prabowo diharapkan memimpin selama 10 tahun, disusul oleh Gibran Rakabuming Raka untuk periode berikutnya.
Apa Tantangan Ekonomi dan Energi ke Depan?
Dalam konteks pembangunan nasional, Jokowi dan Prabowo dapat dikatakan sebagai "dwi-tunggal" yang saling melengkapi. Dengan proyeksi jumlah penduduk Indonesia mencapai 324 juta jiwa pada 2045—di mana 70% di antaranya merupakan usia produktif—pemerintah harus menyiapkan infrastruktur yang memadai, termasuk di sektor kesehatan dan gizi.
Namun, tantangan besar muncul dalam pengelolaan energi nasional. Berdasarkan data SKK Migas Februari 2024, cadangan minyak Indonesia hanya sekitar 4,7 miliar barel atau sekitar 0,2% dari total cadangan minyak dunia. Dengan asumsi tingkat recovery 40-50%, cadangan ini diprediksi akan habis dalam 12-18 tahun ke depan. Saat ini, kebutuhan minyak Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari, sedangkan lifting minyak nasional hanya 600 ribu barel per hari, memaksa Indonesia untuk terus mengimpor minyak dalam jumlah besar.
Di tengah tantangan ini, Pertamina memegang peran krusial, tetapi skandal besar di tubuh perusahaan tersebut menyoroti kebocoran anggaran yang signifikan akibat korupsi.
Bagaimana Skandal Pertamina Berdampak pada Ekonomi Nasional?
Kejaksaan Agung mengungkap skandal di tubuh Pertamina dengan total kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun dari periode 2018 hingga 2023. Kerugian ini terdiri dari:
Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri: Rp35 triliun
Kerugian impor minyak mentah melalui broker: Rp2,7 triliun
Kerugian impor BBM melalui broker: Rp9 triliun
Kerugian pemberian kompensasi: Rp126 triliun
Kerugian pemberian subsidi: Rp21 triliun
Jika tren kebocoran anggaran ini terus terjadi, maka dalam lima tahun ke depan, jumlahnya bisa mencapai Rp1 kuadriliun (seribu triliun rupiah). Pertanyaan besar pun muncul: siapa aktor utama di balik skandal ini? Siapa yang menikmati keuntungan dari korupsi di sektor energi ini?
Apa Solusi Jangka Panjang?
Di tengah semakin menipisnya cadangan minyak dan kebocoran anggaran yang tinggi, transisi energi menjadi solusi yang harus segera diakselerasi. Dengan proyeksi cadangan minyak yang hanya bertahan 18 tahun lagi, Indonesia perlu mulai beralih ke kendaraan listrik sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan.
Namun, peralihan ini membutuhkan komitmen besar dari pemerintah dalam menyediakan infrastruktur pendukung, termasuk peningkatan kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dan penguatan industri baterai dalam negeri.
Kesimpulan: Bagaimana Masa Depan Politik dan Ekonomi Indonesia?
Keberlanjutan politik yang sedang dirancang oleh koalisi besar Prabowo-Gibran bukan sekadar wacana, tetapi strategi nyata untuk menjaga stabilitas pemerintahan hingga 2045. Dengan dwi-tunggal Jokowi-Prabowo yang saling melengkapi, proyek pembangunan berkelanjutan dapat terus berjalan.
Namun, tantangan besar tetap ada, terutama dalam hal korupsi dan transisi energi. Skandal Pertamina menjadi pengingat bahwa reformasi struktural masih menjadi agenda mendesak.
Di sisi lain, masa depan energi nasional tidak bisa lagi bergantung pada minyak bumi yang semakin menipis. Transformasi ke energi terbarukan dan kendaraan listrik adalah keniscayaan yang harus diwujudkan sejak sekarang.
Pertanyaannya, apakah Indonesia siap menghadapi perubahan besar ini? Ataukah akan terus terjebak dalam skandal dan pemborosan anggaran yang menghambat masa depan bangsa?
(Jakarta, 5 Maret 2025 – Andre Vincent Wenas, MM, MBA, Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.)