Notification

×

Iklan

Iklan

Benang Merah Politik Uang dan Dana KONI: Pejabat atau Bandar Politik?

Jumat, 14 Maret 2025 | Maret 14, 2025 WIB Last Updated 2025-03-14T13:38:01Z
Ilustrasi Koni

Celebes Post, Makassar – Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Kota Makassar kembali menjadi sorotan setelah terungkap dugaan aliran dana besar untuk memenangkan salah satu calon anggota legislatif (caleg) dari daerah pemilihan (dapil) 5. Informasi dari seorang mantan koordinator tim pemenangan Berinisial (HA) mengindikasikan adanya praktik politik uang yang melibatkan nominal fantastis, termasuk dugaan intervensi terhadap hasil akhir pemilu dengan menyalurkan dana miliaran rupiah kepada berbagai pihak.


Strategi Politik Uang: Dari Serangan Fajar hingga Dugaan Suap KPU dan Bawaslu


Salah satu caleg DPRD Kota Makassar dari dapil 5, yang sebelumnya menjabat sebagai pejabat Kesra Kota Makassar, diduga menggelontorkan dana besar untuk mendongkrak perolehan suara pada Pemilu 14 Februari 2024. Berdasarkan kesaksian seorang mantan koordinator tim, strategi politik uang ini telah dirancang sejak jauh hari.


"Pada Januari 2024, menjelang pemilu, tim pemenangan sepakat menjalankan strategi 'serangan akhir' dengan mendistribusikan dana sekitar Rp700 juta kepada pemilih yang telah direkrut sejak empat bulan sebelumnya. Ada tim verifikator yang memastikan bahwa penerima dana benar-benar memilih caleg tersebut," ujar HA yang enggan disebutkan namanya.


Namun, strategi ini gagal mencapai target. Hasil penghitungan suara menempatkan caleg tersebut di posisi kedua dengan selisih sekitar 2.000 suara dari pesaingnya.


Tak berhenti di situ, pada akhir Februari 2024, caleg langsung menginstruksikan ke anggota tim opsi lain: mengintervensi hasil penghitungan suara melalui jalur tidak sah. Tawaran ini diduga dijalan kan dengan aliran dana sebagai berikut:


Serangan Fajar untuk Pemilih: Rp700 juta lebih

Suap kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU): Rp1 miliar

Suap kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu): Rp200 juta


Jika dugaan ini terbukti, maka skandal ini bukan sekadar politik uang biasa, tetapi telah mencederai demokrasi dengan mempermainkan suara rakyat demi kepentingan segelintir elite politik.


Benang Merah dengan Kasus Dana Hibah KONI Makassar


Yang lebih mengejutkan, ada dugaan kuat bahwa dana yang digunakan dalam operasi politik uang ini berasal dari anggaran hibah KONI Makassar periode 2022-2024. Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar, Alamsyah, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah meminta keterangan beberapa saksi terkait indikasi penyimpangan dana hibah tersebut.


"Materi penyelidikan masih bersifat internal, tetapi laporan masyarakat terus kami dalami," ujar Alamsyah dalam keterangannya pada 25 Maret 2024.


Penyelidikan ini semakin menarik perhatian publik ketika diketahui bahwa Bendahara Umum dan Sekretaris KONI Makassar telah diperiksa. Namun, absennya Profesor Doktor Arifuddin, yang dikabarkan sedang umroh, menimbulkan tanda tanya besar. Sebagai gantinya, ia mengirimkan Saudara Retno untuk memberikan keterangan di Kejari Makassar pada hari yang sama.


Kebetulan atau Ada Konspirasi?


Fakta lain yang mencurigakan adalah hubungan antara dua tokoh penting di KONI Makassar dengan caleg yang diduga terlibat dalam politik uang ini. Diketahui bahwa:


Istri Ahmad Susanto maju dari PKS

Istri Profesor Doktor Arifuddin maju dari Partai Hanura nomor urut 4


Namun, dalam kontestasi tersebut, istri Profesor Doktor Arifuddin kalah oleh Irmawati Sila, caleg nomor urut 1 dari Partai Hanura. Sedangkan istri Ahmad Susanto menjadi pemenang kursi nomor 2 pada partai PKS sebelum ditetapkannya Ahmad Susanto sebagai tersangka tindak pidana korupsi dana hibah Koni Kota Makassar.


Keakraban antara Ahmad Susanto dan Profesor Doktor Arifuddin dalam struktur KONI Makassar menimbulkan dugaan bahwa aliran dana politik ini tidak berdiri sendiri. Seringnya pertemuan di luar lingkup KONI memperkuat spekulasi bahwa ada upaya sistematis untuk mengalirkan dana hibah KONI ke dalam kepentingan politik tertentu.


Potensi Konsekuensi Hukum: Pelanggaran Berat UU Pemilu


Jika terbukti, dugaan praktik politik uang ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 515 yang mengatur tentang politik uang dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun dan denda Rp36 juta bagi pelaku. Selain itu, keterlibatan penyelenggara pemilu dalam manipulasi hasil suara dapat dijerat dengan Pasal 532 UU Pemilu yang ancaman hukumannya mencapai 4 tahun penjara.


Tak hanya itu, jika benar ada keterkaitan dengan dugaan korupsi dana hibah KONI Makassar, maka kasus ini bisa merambah ke pelanggaran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang ancaman hukumannya jauh lebih berat.


Diamnya Pihak Terkait: Tanda Bahaya Demokrasi?


Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari caleg yang bersangkutan, KONI Makassar, maupun pihak penyelenggara pemilu terkait tudingan ini. Keheningan mereka justru semakin menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat.


Kasus ini menegaskan bahwa praktik kotor dalam pemilu masih mengakar kuat di Indonesia. Demokrasi yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat justru dicemari oleh permainan uang dan manipulasi hasil suara. Jika hukum tidak ditegakkan dengan tegas, bukan tidak mungkin skandal serupa akan terus terjadi di masa mendatang, menciptakan lingkaran korupsi yang semakin sulit diputus.


Komentar Tajam Farid Mamma, S.H., M.H.


Menanggapi dugaan politik uang ini, pemerhati hukum sekaligus Direktur Pukat Sulsel, Farid Mamma, S.H., M.H., mengecam keras praktik yang mencederai demokrasi ini.


"Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi masuk ke ranah pidana berat! Jika terbukti ada intervensi dan suap kepada penyelenggara pemilu, maka bisa dijerat dengan pasal suap dan pemalsuan dokumen dalam Undang-Undang Pemilu serta KUHP," tegas Farid Mamma.


Ia juga menegaskan bahwa penyalahgunaan dana hibah untuk kepentingan politik bisa dikenakan pasal korupsi. "Jika terbukti, ini bisa menjerat pelaku dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal seumur hidup," tambahnya.


Farid Mamma juga menegaskan bahwa siapapun yang terlibat, termasuk penyelenggara pemilu, bisa dijerat dengan Pasal 523 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur sanksi pidana bagi peserta pemilu yang terbukti melakukan suap atau memanipulasi hasil suara. 


Jika terbukti, konsekuensinya bisa mencakup diskualifikasi caleg, sanksi pidana bagi pihak yang terlibat, serta pembatalan hasil pemilu di dapil terkait.


Hingga berita ini diterbitkan, belum ada konfirmasi resmi dari pihak terkait mengenai dugaan penyimpangan dana hibah KONI dan aliran dana politik dalam pemilu. Namun, kejadian ini menjadi pengingat bahwa demokrasi di Indonesia masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk meraih kekuasaan dengan cara yang tidak etis.




MDS | Celebes Post



Berita Video

×
Berita Terbaru Update