![]() |
Pihak MUF & Debitur Saat Dimediasi |
Celebes Post, Makassar – Kasus perampasan kendaraan oleh debt collector kembali mencuat di Makassar, menambah daftar panjang aksi premanisme berkedok penagihan utang. Peristiwa ini menimbulkan kecaman luas, terutama karena banyak debitur mengalami tunggakan angsuran mobil akibat dampak pandemi COVID-19. Padahal, menurut ahli hukum, tunggakan angsuran merupakan persoalan perdata yang seharusnya diselesaikan melalui pengadilan, bukan dengan aksi main hakim sendiri.
Seorang debitur berinisial STW menjadi korban terbaru aksi brutal debt collector. Mobilnya dirampas secara paksa di Jalan Sungai Saddang, tepatnya di depan Bank BRI, Makassar. Peristiwa ini bukan hanya merugikan secara materi, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi STW dan dua anaknya yang masih kecil.
"Saya benar-benar trauma, anak-anak saya juga ikut ketakutan karena mereka melihat langsung kejadian itu. Mereka menangis dan tidak berhenti gemetar. Saya tidak pernah menyangka akan mengalami perlakuan seperti ini," ungkap STW dengan suara bergetar, Rabu (20/3).
Ini Bukan Perkara Perdata, tapi Pidana!
Menanggapi kejadian ini, Oghie dari Lembaga Aliansi Indonesia menegaskan bahwa perampasan kendaraan secara paksa oleh debt collector bukan sekadar wanprestasi atau ingkar janji dalam kontrak kredit kendaraan.
"Jika ada tunggakan, kreditur harus mengajukan gugatan wanprestasi di pengadilan. Mereka tidak bisa begitu saja mengambil mobil debitur," tegas Oghie.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tindakan debt collector ini masuk dalam kategori tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan pengancaman, yang ancaman hukumannya mencapai 9 tahun penjara.
"Debitur tidak menyerahkan mobilnya secara sukarela. Jika kendaraan diambil paksa dengan kekerasan atau intimidasi, itu adalah tindak pidana. Debt collector bukan penegak hukum dan tidak punya kewenangan melakukan perampasan," imbuhnya.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia juga dengan jelas menyatakan bahwa eksekusi kendaraan bermotor sebagai objek jaminan harus melalui putusan pengadilan jika debitur tidak menyerahkannya secara sukarela.
"Pasal 35 dan 36 UU Fidusia sangat jelas. Jika debitur tidak mau menyerahkan kendaraan, maka kreditur harus menempuh jalur hukum. Menggunakan debt collector untuk merampas kendaraan adalah pelanggaran hukum," tambahnya.
Mandiri Utama Finance Harus Bertanggung Jawab Secara Hukum
Dalam kasus ini, tidak hanya debt collector yang harus dimintai pertanggungjawaban, tetapi juga Mandiri Utama Finance (MUF) sebagai pemberi kuasa kepada pihak ketiga. MUF telah gagal melindungi konsumennya dan justru merugikan debitur dengan cara menggunakan jasa debt collector yang bertindak brutal di lapangan.
Oghie menegaskan bahwa Pak Harun, sebagai penentu kebijakan di Mandiri Utama Finance, harus bertanggung jawab secara hukum. Ia menilai bahwa penggunaan jasa PT Bayu Saputra Perkasa sebagai pihak ketiga dalam penagihan telah mengakibatkan tindakan kekerasan terhadap debitur.
![]() |
"Mandiri Utama Finance tidak bisa cuci tangan dalam kasus ini. Mereka harus bertanggung jawab karena telah menggunakan jasa perusahaan yang melakukan kekerasan terhadap konsumen. Pak Harun sebagai pengambil keputusan di perusahaan leasing harus diperiksa dan diproses hukum atas keteledorannya dalam memilih mitra kerja sama," tegas Oghie.
Menurutnya, MUF bisa dijerat dengan Pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana, karena mereka yang memberikan kuasa kepada pihak yang melakukan tindakan melanggar hukum.
"Tidak bisa hanya debt collector yang dihukum. Perusahaan leasing yang memberikan kuasa juga harus bertanggung jawab. Jika mereka tetap dibiarkan, maka praktik perampasan kendaraan akan terus terjadi tanpa ada efek jera," tambahnya.
Kendaraan Sempat Diamankan di Polsek
Pasca perampasan, kendaraan milik STW sempat diamankan di Polsek Kerung-Kerung dengan bantuan polisi setempat, termasuk Pak Agus dari Polsek Kerung-Kerung.
Kemudian, pada hari Senin, dilakukan mediasi antara STW dan pihak Mandiri Utama Finance (MUF) di Polsek Makassar Kerung-Kerung. Namun, hingga kini, permasalahan belum sepenuhnya terselesaikan.
Untuk mengusut kasus ini lebih lanjut, pihak kepolisian melakukan giat pemeriksaan terhadap pihak Mandiri Utama Finance (MUF), yakni Pak Harun dan rekannya, pada Sabtu, 1 Februari 2025, di Polsek Ujung Pandang.
"Kami masih mendalami unsur-unsur pidana dalam kasus ini. Jika terbukti ada unsur kekerasan atau pemerasan, tentu akan kami tindaklanjuti sesuai prosedur hukum yang berlaku," ujar salah satu penyidik di Polsek Ujung Pandang.
Desakan untuk Menindak Tegas Debt Collector Brutal dan Pihak Leasing
Kasus ini menambah panjang daftar aksi debt collector yang bertindak semena-mena. Organisasi masyarakat sipil dan pengamat hukum mendesak aparat kepolisian agar lebih tegas menindak aksi premanisme berkedok penagihan utang ini serta mengusut tuntas peran Mandiri Utama Finance dalam kasus ini.
"Maraknya debt collector yang bertindak di luar hukum harus dihentikan. Jangan sampai masyarakat semakin takut hanya karena ketidaktahuan mereka tentang hak-haknya sebagai debitur. Selain itu, perusahaan leasing yang menggunakan jasa penagih brutal juga harus bertanggung jawab," kata Oghie.
Sementara itu, pihak kepolisian menegaskan bahwa tindakan perampasan kendaraan secara paksa akan ditindak tegas.
"Kami mengimbau masyarakat untuk segera melaporkan jika mengalami kejadian serupa. Debt collector tidak boleh main hakim sendiri. Kami akan menindak tegas pelaku yang melanggar hukum, termasuk pihak yang memberi kuasa," tegas perwakilan kepolisian.
Dengan semakin banyaknya kasus serupa, masyarakat diimbau untuk memahami hak-haknya sebagai debitur dan tidak ragu untuk melaporkan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh debt collector serta perusahaan leasing yang membiarkan praktik ilegal ini terjadi.
MDS - Celebes Post