![]() |
Farid Mamma, SH., M. H. |
Celebes Post, Makassar – Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terus menjadi pisau bermata dua dalam era digital. Pasal 27 UU ITE, yang kerap dijuluki "pasal karet", kini mengalami revisi melalui UU No. 1 Tahun 2024. Namun, benarkah perubahan ini membawa angin segar bagi kebebasan berpendapat, atau justru menjadi senjata baru untuk membungkam kritik?
Untuk mengupas lebih dalam, reporter Celebes Post, MDS, mewawancarai Farid Mamma, SH., M.H., Direktur Pusat Kajian Advokasi dan Anti Korupsi Sulawesi Selatan (PUKAT Sulawesi Selatan).
Pasal 27 UU ITE: Jerat Hukum yang Sarat Multitafsir
Sebelum direvisi, Pasal 27 UU ITE melarang penyebaran informasi elektronik yang mengandung muatan melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman. Hukuman bagi pelanggar bisa mencapai 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Namun, Pasal 27 ayat (3) khususnya—tentang penghinaan dan pencemaran nama baik—kerap dikritik sebagai pasal multitafsir yang dapat digunakan untuk menekan kebebasan berbicara.
Pasal Karet yang Membungkam Demokrasi?
Menurut Farid Mamma, Pasal 27 ayat (3) menjadi alat ampuh bagi penguasa dan aparat untuk membungkam kritik.
“Pasal ini seperti pedang bermata dua. Bisa melindungi, tetapi lebih sering digunakan untuk menusuk mereka yang berani bersuara,” ujarnya tegas.
Farid menyoroti beberapa kelemahan utama pasal ini:
Membatasi kebebasan berpendapat, bertentangan dengan konstitusi dan HAM.
Minim kepastian hukum, karena unsur penghinaan dan pencemaran nama baik sulit didefinisikan secara objektif.
Membuka peluang kriminalisasi berlebihan, terutama bagi jurnalis dan aktivis.
Tumpang tindih dengan KUHP, membuat aturan hukum menjadi tidak efektif.
Rentan penyalahgunaan oleh aparat hukum, karena tidak ada pedoman teknis yang jelas dalam penerapannya.
“Bahkan mengkritik pemerintah di media sosial bisa berujung pidana. Ini jelas mengkhawatirkan,” lanjutnya.
Apa yang Berubah dalam Revisi UU ITE?
Dengan terbitnya UU No. 1 Tahun 2024, Pasal 27 mengalami revisi dan kini dipecah menjadi Pasal 27A dan 27B:
Pasal 27A mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik secara elektronik, dengan ancaman pidana maksimal 2 tahun dan denda Rp400 juta.
Pasal 27B menjerat pencemaran nama baik yang bertujuan pemerasan, dengan ancaman pidana hingga 6 tahun dan denda Rp1 miliar.
Farid mengkritik bahwa perubahan ini masih menyisakan celah represif.
“Turunnya ancaman pidana bukan jaminan kebebasan berekspresi lebih terlindungi. Revisi ini tetap memberi celah bagi kriminalisasi kritik,” ungkapnya.
Revisi yang Tak Menyentuh Akar Masalah
Farid menilai bahwa revisi ini sekadar perubahan kosmetik. Pasal 27A dan 27B tetap membuka peluang kriminalisasi terhadap jurnalis, aktivis, dan warga biasa yang mengkritik pejabat atau kebijakan publik.
“Jika pemerintah serius ingin melindungi kebebasan berbicara, harus ada pemisahan yang jelas antara kritik yang sah dan penghinaan. Jika tidak, ini hanya alat baru untuk menekan oposisi,” tegasnya.
Kasus Dugaan Pemerasan dan Pencemaran Nama Baik di Makassar
Revisi UU ITE langsung diuji dalam kasus dugaan pencemaran nama baik di Makassar. Seorang guru honorer, IMS, dan media online dituding menyebarkan fitnah dan melakukan pemerasan terhadap anggota DPRD Makassar berinisial AM.
“Terkait pemberitaan yang menyerang AM, kami akan menempuh jalur hukum. Kami memiliki bukti dugaan pemerasan dan fitnah,” ujar Kasman, orang dekat AM, Jumat (14/3/2025).
Namun, jika IMS memiliki bukti kuat bahwa AM tidak mengembalikan uang Rp50 juta dan terlibat dalam tindakan asusila, maka AM harus siap menghadapi konsekuensi hukum.
Farid menekankan, “Jika benar ada pemerasan, gunakan Pasal 27B. Tapi jika ada unsur pencemaran nama baik dalam berita, ini bisa menjadi contoh bagaimana UU ITE tetap menjadi alat represi terhadap jurnalis.”
Sementara itu, kuasa hukum AM yang menggugat media online tampaknya belum memahami bahwa media memiliki hak konstitusional dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Pasal 27B yang direvisi telah mengecualikan media dari kategori pelanggaran.
Farid menambahkan, “Sebaiknya AM menggunakan hak jawab di media bersangkutan, bukan langsung menggugat. Hak jawab adalah mekanisme yang lebih beradab dalam penyelesaian sengketa jurnalistik.” Ia juga menyoroti bahwa Kasman tidak memiliki hubungan hukum yang sah untuk berbicara atas nama AM dalam konteks ini.
Revisi UU ITE: Solusi atau Masalah Baru?
Revisi UU ITE membawa perubahan, tetapi tidak sepenuhnya menyelesaikan perdebatan lama.
Menurut Farid Mamma, peradilan yang adil dan transparan adalah kunci utama agar revisi ini tidak sekadar menjadi jebakan baru bagi masyarakat.
“Kita butuh aturan yang lebih jelas dan tidak tebang pilih dalam penerapannya. Kalau tidak, UU ITE hanya akan terus menjadi alat represi digital,” pungkasnya.
Dengan berbagai celah hukum yang masih mengintai, masyarakat harus tetap waspada dalam bermedia sosial. Sementara itu, pemerintah dan DPR dituntut untuk tidak hanya merevisi, tetapi benar-benar melindungi kebebasan berpendapat di Indonesia.
@mds_celebespost